Thursday, 4 November 2010

STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF

A. Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya.
Nilai pada dasarnya standar prilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik, indah dan tidak indah, dan sebagainya, sehingga standar itu yang akan mewarnai prilaku seseorang. Pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Douglas Graham (gulo, 2002) melihat 4 faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu :
1. Normativist, biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum
2. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
3. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi
4. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.

Dalam sumber yang sama dijelaskan, dari 4 faktor ini terdapat 5 type kepatuhan, yaitu:
1. Otoritarian, suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-ikutan.
2. Conformist, kepatuhan type ini mempunyai 3 bentuk, yaitu :
a) Conformist directed
b) Conformist hedonist
c) Conformist integral
3. Compulsive divient, kepatuhan yang tidak konsisten
4. Hidonik psikopstik, kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain.
5. Supramoralist, kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.
Dalam masyarakan yang cepat berubah, pendidikan nilai sangat penting hal ini disebabkan pada era global dewasa ini anak akan dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang mungkin dianggapnya baik. Nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu kelompok masyarakat bukan tidak mungkin akan menjadi luntur digantikan oleh nilai-nilai baru yang belum tentu cocok dengan budaya masyarakat. Nilai bagi seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu.
Gulo (2005) menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut :
• Nilai tidak bisa diajarkan tapi diketahui dari penampilannya
• Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik.
• Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang, sehingga bisa dibina.
• Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui teknik tertentu.
Thurstone & Chave (dalam Mitchell, 1990) mengemukakan definisi sikap yaitu, Sikap adalah keseluruhan dari kecenderungan dan perasaan, curiga atau bias, asumsi-asumsi, ide-ide, ketakutan-ketakutan, tantangan-tantangan, dan keyakinan manusia mengenai topik tertentu.
Pendapat Allport (1921) mengenai sikap lebih memperkaya pandangan yang dikemukakan sebelumnya. Menurut Allport sikap adalah kondisi mental dan neural yang diperoleh dari pengalaman, yang mengarahkan dan secara dinamis mempengaruhi respon-respon individu terhadap semua objek dan situasi yang terkait.
Menurut Krech & Crutchfield sikap adalah pengorganisasian yang relatif berlangsung lama dari proses motivasi, persepsi dan kognitif yang relatif menetap pada diri individu dalam berhubungan dengan aspek kehidupannya
Dari berbagai defensi diatas maka dapat disimpulkan bahwa, Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna atau berharga (sikap positif) dan tidak berharga atau tidak berguna (sikap negatif). Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperanan sekali dalam mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternatif (winkel 2004).
Pernyataan kesenangan dan ketidaksenangan seseorang terhadap objek yang dihadapinya, akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya (aspek konitif) terhadap objek tersebut. Oleh karena itu, tingkat penalaran (kognitif) terhadap sesuatu objek dan kemampuan untuk bertindak terhadapnya (psikomotorik) turut menentukan sikap seseorang terhadap objek yang bersangkutan dan yang akan dipilihnya.

B. Proses Pembentukan Sikap
1) Pola pembiasaan
Menurut penelitian Wotson seorang psikolog cara belajar sikap yang disebabkan dengan kebiasaan dapat menjadi dasar penanaman sikap tertentu terhadap suatu objek. Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan misalnya, siswa yang setiap kali menerima perlakuan yang tidak mengenakan dari guru seperti mengejek atau menyinggung perasaan anak, maka lama-kelamaan akan timbul perasaan kesal dari anak tersebut yang pada akhirya dia tidak menyukai guru dan mata pelajarannya.
Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan juga dilakukan oleh Skinner melalu teorinya “operant conditioning” proses pembentukan sikap melalui pembiasaan yang dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan Skinner. Skinner menekankan pada proses peneguhan respons anak, dimana setiap kali anak menunjukan prestasi yang baik diberikan penguatan dengan cara memberikan hadiah atau prilaku yang menyenangkan.
Dari Watson dan Skinner, menurut kelompok kami dapat diambil kesimpulan bahwa proses pembentukan sikap dengan pola pembiasaan bukan hanya melalui proses pembiasaan yang dilakukan secara terus menerus melainkan juga memberikan penguatan sehingga anak akan berusaha dan bersemangat untuk meningkatkan sikap positifnya.

2) Modeling
Pembelajaran sikap seseorang yang dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh. Proses modeling ini adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya yang dimulai rasa kagum.
Proses penanaman sikap anak terhadap suatu objek melalui proses modeling pada mulanya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Misalnya, guru perlu menjelaskan mengapa kita harus berpakaian bersih atau mengapa kita harus telaten menjaga dan memelihara tanaman.

C. Model Strategi Pembelajaran Sikap (Afektif)
Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi yang problematis. Adapun contoh model strategi pembentukan sikap :
1) Model Konsiderasi
Model Konsiderasi (the conderation model) dikembangkan oleh Mc. Paul, seorang humanis. Pembelajaran moral siswa menurutnya ialah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa hidup bersama secara harmonis, peduli, dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran seperti dibawah ini :
a. Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
b. Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.
c. Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang terjadi.
d. Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat katagori dari setiap respons yang diberikan siswa.
e. Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa.
f. Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandangan untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g. Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.

2) Model Pengembangan Kognitif
Model pengembangan Kognitif dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat, setiap tingkat mempunyai 2 tahap :
a. Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada pandangan secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat ini terdapat 2 tahap, yakni :
Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Tahap 2 : Orientasi instrumental relatif
b. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu-masyarakat. Pada tingkat ini mempunyai 2 tahap, yakni :
Tahap 1 : Keselarasan interpersonal
Tahap 2 : Sistem sosial dan kata hati
c. Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat ini prilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya secara individu. Pada tingkat ini mempunyai 2 tahap, yakni :
Tahap 1 : Kontrak sosial
Tahap 2 : Prinsip etis yang universal

3) Teknik Mengklarifikasi Nilai
Teknik mengklarifikasi nilai atau sering disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.
Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah proses pembelajaran yang dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memperhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa.
Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam suatu strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran moral VCT bertujuan :
a. Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai
b. Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik tingkatannya maupun sifatnya (positif dan negatifnya) untuk kemudian dibina kearah peningkatan dan pembetulannya.
c. Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa.
d. Melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima, serta mengambil keputusan terhadap suatu persoalan dalam hubungannya dengan kehidupan sehari-hari dimasyarakat.
e.
John jarolimek (1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan VCT dalam tujuh tahap yang dibagi dalam 3 tingkat :
1. Kebebasan memilih
Pada tingkat ini terdapat 3 tahap :
a. Memilih secara bebas
b. Memilih dari beberapa alternatif
c. Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya.
2. Menghargai
Terdiri dari 2 tahap pembelajaran :
a. Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya
b. Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di depa umum.
3. Berbuat
Terdiri atas :
a. Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya
b. Mengulangi prilaku sesuai dengan nilai pilihannya

VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses dialog :
• Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasihat, yaitu memberikan pesan-pesan moral
• Jangan memaksa siswa untuk memberi respons tertentu apabila siswa tidak menghendakinya.
• Usahakan dialog dilaksanakan secara bebas dan terbuka, sehingga siswa akan mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa adanya.
• Dialog dilaksanakan kepada individu, bukan pada kelompok kelas.
• Hindari respons yang dapat menyebabkan siswa terpojok, sehingga ia menjadi defensif
• Tidak mendesak siswa pada pendirian tetentu
• Jangan mengorek alasan siswa lebih dalam.

D. Kesulitan Dalam Pembelajaran Afektif
Proses pendidikan bukan hanya membentuk kecerdasan atau memberikan keterampilan tertentu saja, akan tetapi juga membentuk dan mengembangkan sikap agar anak berprilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Namun demikian, dalam proses pendidikan di sekolah proses pembelajaran sikap kadang-kadang terabaikan. Hal ini disebabkan proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan :
1) Selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual. Dengan demikian, keberhasilan proses pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah ditentukan oleh kriteria kemampuan intelektual (kemampuan kognitif). Akibatnya, upaya yang dilakukan setiap guru diarahkan kepada bagaimana agar anak dapat menguasai sejumlah pengetahuan sesuai isi standar kurikulum yang berlaku, oleh karena kemampuan intelektual identik dengan penguasaan materi pelajaran. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam bentuk evaluasi yang dilakukan baik evaluasi tingkat sekolah maupun evaluasi nasional diarahkan pada kemampuan anak menguasai pelajaran. Pendidikan agama atau kewarganegaraan misalnya semestinya diarahkan untuk pembentukan sikap dan moral, oleh karena itu keberhasilannya diukur dari kemampuan intelektual, maka evaluasinya pun lebih banyak mengukur kemampuan intelektual daripada kemampuan afektif.
2) Sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap seseorang baik melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru, akan tetapi juga faktor-faktor lain terutama faktor lingkungan. Artinya, walaupun di sekolah guru berusaha memberikan contoh baik, akan tetapi tidak didukung oleh lingkungan yang baik sekolah maupun lingkungan masyarakat, maka pembentukan sikap akan sulit dilaksanakan.
3) Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda dengan pembentukan kognitif yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, sedangkan keberhasilan pembentukan sikap baru dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang.
4) Pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak.

Menurut kelompok kami cara mengatasi masalah diatas, antara lain :
1) Pendidikan yang ada selama ini sesuai dengan kurikulum yang digunakan untuk mengukur kemampuan intelektual anak dari pada kemampuan afektif, akan tetapi kemampuan dalam bersikap pun tidak kalah penting harus dimiliki anak, untuk apa memiliki generasi muda yang pintar akan tetapi perilakunya tidak mencerminkan orang yang memiliki intektual. Pendidikan agama dan kewarganegaraan sampai saat ini merupakan pendidikan yang wajib diberikan pada anak didik, karena dengan pendidikan agama dan moral dapat mengontrol perilaku anak agar tidak cepat terjerumus pada perilaku yang buruk tetapi sangat popular, akibat kemajuan zaman dan teknologi. Kesadaran yang harus dimiliki diri anak yang sangat baik ditanamkan sejak dini adalah sesuatu sikap yang sangat tepat dalam memfilter perilaku anak, anak akan memahami cara berperilaku saat anak mampu membedakan mana sikap yang baik dan mana sikap yang buruk bagi dirinya.
2) Peran dari guru dan orang tua serta lingkungan sangat menentukan perilaku yang akan dikeluarkan atau dicontoh oleh siswa. Guru mampu memberikan pembelajaran yang intelektual dan juga memiliki nilai sikap yang baik, contohya saat guru mengajarkan bagaimananya caranya bersikap pada pengemis, pemulung, orang tua, dan lain sebagainya. Guru pun dapat memberikan praktek melalui contoh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam lingkungan masyarakat orang tua yang harus menjadi contoh bagi anaknya, tanamkan ilmu agama dan moral dari anak berusia dini, serta berikan perhatian dan penjelasan yang ringan mengenai akhlaq manusia yang baik, dan kemukakan beberapa contoh suri tauladan seperti akhlaq Nabi Muhammad SAW. Orang tua juga memberikan contoh praktek bersikap yang baik didepan anak-anaknya, agar anak bangga dan mencontohnya.
3) Pembentukan sikap bukan untuk dinilai akan tetapi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, apabila pembentukan sikap yang dilakukan guru dan orang tua serta lingkungan berpengaruh baik pada anak maka kehidupan anak akan terjamin aman dan jauh dari kekacauan. Sebaliknya bila pembentukan sikap kurang optimal pada anak maka perilaku anak akan mudah tergantikan dengan perilaku yang datang silih berganti, membuat perilaku anak sulit terkontrol dan berakibat buruk bagi anak tersebut.
4) Pengaruh kemajuan teknologi dapat diatasi dengan pengawasan yang baik dari orang tua dan guru, berikan pengertian bahayanya kemajuan teknologi dengan menggunakan bahasa yang komunikatif tanpa gaya yang memaksa ataupun nada kasar. Kedekatan orang tua dan anak sangat banyak membantu dalam mengotrol sikap anak dalam menerima kemajuan teknologi yang ada, berikan anak kebebasan yang bertanggung jawab, berikan kepercayaan terhadap anak bahwa anak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya sendiri. Artikel Terkait di Bawah posting
pengetahuan
pendidikan

0 Responnnnnnn :

Post a Comment

Silakan anda berikan saran atau komentar untuk membangun blog haur gading menjadi lebih baik,, ^^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...